Oleh Milliya
Jalarasa,- Jika
kamu tengah #ngelancong ke Bali, ada baiknya luangkan waktu sejenak
untuk mengunjungi sebuah Pulau Serangan atau disebut Pulau
Penyu, dijamin enggak bakal nyesel. Keindahan alam serta yang begitu eksotis disertai
penangkaran dan tak kalah adalah menyentuh langsung penyu.
Pengalaman itu dirasakan langsung oleh saya, awalnya hanya
sekadar iseng-iseng menghabiskan waktu senggang dan kebetulan dapat pinjaman
kamera. Memang waktu liburan paling enak dihabiskan buat liburan, Sabtu [11/5]
ketimbang bengong, itulah yang membuatnya begitu bahagia saat teman saya, Hepi bersedia
mengantarnya ke tempat penyu.
Singkat cerita, kami langsung meluncur dengan mengendarai
sepeda motor, saya dibonceng Hepi, menuju Pulau Serangan. Letaknya 5 km di sebelah
selatan kota Denpasar, Bali. Dengan panjang pulau 2,9 km dan lebar 1 km. 30
menit dari kostan saya di Jl. Sedap Malam-Sanur
Sesampainya, saya langsung tergiur untuk langsung ngambil
foto Pulau Serangan yang danaunya bening. Nampak tenang dari kejauhan. Gagal.
Sore itu Serangan sedang surut. Nampak tanah basah sisa genangan air. Berlumut
coklat kehitam-hitaman.
Melihat saya yang tengah murung lantaran gagal mewujudkan
keingingan, Hepi, mengajak saya ke penangkaran Penyu. Letaknya didalam Pulau
Serangan. Saya tidak menolak.
Sore dan matahari di Bali, masih terik. Saya memasuki pintu
gerbang yang tidak berpagar, lantas memarkir motor di lahan teduh. Ada dua
patung penyu besar, dua bangunan serupa kantor. Satunya kafe.
“Ada penjaga,” jawab Hepi, singkat.
Dari arah kafe, lamat-lamat seorang lelaki berperawakan
besar menghampiri kami. Ia menyambut kedatangan kami dengan senyum. “Mau
lihat-lihat.” Serunya, sambil mempersilakan saya dan Hepi, untuk mengikutinya.
Saya dan Hepi, manut. Mengikuti langkahnya dari belakang.
“Ini penyu hijau dan itu penyu lekang,” unjuknya sambil
memainkan air di kolam penyu. Empat kolam berukuran 1.5m saling
berhadap-hadapan. Ada tiga jejer kolam sebagai tempat penangkaran.
Lelaki yang memandu saya sore itu namanya, Bli Made. Delapan
tahun sudah Ia, bekerja di penangkaran penyu di Serangan. Sambil melihat-lihat
beberapa koleksi penyu yang dirawat khusus. Bli Made, menuturkan muasal ihwal
penyu yang perlahan punah.
“Dahulu, penyu dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari. Baik
itu telurnya atau dagingnya sekalipun.”
Saya merinding membayangkannya. Mencium bau amis yang
menghilangkan selera makan. Telur penyu. Daging penyu. Isi kepala saya berisi
potongan gambar masakan-yang saya pastikan sangat tidak enak. “Dasar manusia.
Apa saja serba dimakan,” umpat saya. Hepi, tersenyum. Saya kembali menggerutu.
“Khususnya di Bali, penyu-kan dipakai untuk kebutuhan
upacara. Biasanya, kepalanya saja sih,” lanjut Bli Made. “Penyu lama
bertelurnya. Sedang yang makan setiap hari dan banyak. Jadilah penyu terancam
punah.”
Untuk melindungi populasi penyu, th 1999 pemerintah
mengeluaran UU yang memutuskan bahwa Penyu adalah hewan yang dilindungi. Meski
demikian, penangkaran penyu di Pulau Serangan ini tidak menerima subsidi dari
pemerintah.
“Penangkaran ini adalah hasil swadaya masyarakat.
Pengelolaannya dibawah banjar,” terang Bli Made.
Butuh 10-25th untuk penyu bisa bertelur. Lama. [Jadi kalau
diusia 25th kamu masih jomblo santai aja, ada temennya tuh: penyu :D] Sekali
bertelur berojolnya 150 butir. Menetas dalam kurun waktu + 50 hari. Setelah
dikubur didalam pasir.
Jam tangan saya menunjukan waktu pukul lima sore. Setelah
mengitari beberapa kolam penyu dan melihat-lihat isi museum penyu. Saya
berpamitan kepada Bli Made. Sebelumnya cuci tangan dulu, bau amis. Lantas
meneruskan perjalanan muterin pulau Serangan.
0 komentar:
Posting Komentar