Minggu, 13 Juli 2014

#Kopi, Si Burung Mungil Penuh Sandiwara

#kopi, twitterSengaja kuracik kembali #kopi hitam, jika racikan ini berhasil maka ini cangkir yang ketiga. Iya, hari-hari ini aku lebih banyak menghabiskan waktu. Kopi menjadi rutinitas yang sulit dihindari, meminjam ungkapan almahrum Mbah Surip tentang kopi.

Sambil tertawa hahahaha,  ia mengatakan kurangi tidur dan perbanyak minum kopi hitam.  Apa yang dilakukan, bisa jadi lantaran Mbah Surip mulai merasakan stres tingkat tinggi saat popularitas terus menanjak, maka tak ada cara lain selain dengan sruput kopi.

Kopi hitam sebagai pereda rasa lelah sama halnya dengan vokalis grub musik Nirvana, Kurt Cobain yang melampiaskan melalui obat-obatan. Baiklah kita tidak sedang berdebat mengenai  hali ini. Jelasnya, saat sebagian raykaty Indonesia tengah dilanda keresahan usai pencoblosan Pilpres pada 9 Juli 2014.  Terlampau banyak permainan.

Bisa jadi tujuan adalah menyerang perasaan hingga mengalami kelelahan dan pada akhrinya pasrah. Bagaimana pun pada hari-hari ini menjadi pusat perhatian. Setiap orang mengundang dengan gempuran kosa kata yang terus mengerutkan kening. Lihat saja, bagaimana kata-kata yang dilontarkan orang yang menilai dirinya paling moralis berbicara tentang A dua detik kemudian b lalu C dan Z selanjut kembali ke A.

Pengagum murahan, picisan, mana mungkin jika bukan karena jabatan. Ada yang berani berturuh untuk ini, jika mereka para moralis dengan dalil-dalil agama tak lain bertujuan untuk sebuah jabatan. Jika tidak kenapa mereka rela menyediakan waktu untuk berkicau hanya untuk menuliskan kata-kata ‘kafir’ dan mengagap pilihanya adalah orang paling ‘suci’.

Lagi kuracik kopi, menatap twitter, burung mungil berwarna biru.  Menulusri burung ini berkucau, burung beo dapat dikalahkan dengan mudah. Akun-akun siap menghardik siapa saja yang dianggap lawanl, kalau perlu sampai sumpah serapah.

Oke, silakan hardik sesuka hatimu, silakan anggap dirimu serta kawan-kawanmu adalah orang pantas masuk surga, sendangkan lawan-lawamu hanya pantas menghuni neraka jahanam.


Selasa, 08 Juli 2014

#Kopi Jelang Pilpres 2014

Kopi hitam mendingin, berapa jam lamanya ia begitu setia menemani kesendiranku. Saat ini, aku masih butuh kopi hitam. Iya, begitu ada dan aku tak akan mencari-cara penyebab apa yang membuat aku membutuhkannya. Mungkin salah satu alasan yang tepat, yakni kopi hitam ini rela dijadikan lampiasan rasaku.

Berbicara rasa apa yang tengah kurasakan saat ini untuk lebih tepatnya jelang pencoblosan pilpres 2014.  Ada rasa marah, haru, sedih, dan memuakkan. Rasa tersebut saling bertempur  untuk menguasai diriku dan selanjutnya tinggal ditunggu, apakah akan mengumbar kemarahan secara membabi buta, atau hanya tertunduk lesu dipojok kamar 3x4 M.

Apakah aku pesimis? Sejujurnya aku menjawab iya, aku pesimis dengan jualan dalil-dalil suci hanya untuk memuluskan seorang pada jalur kekuasaan. Aku pesimis menyaksikan seorang berhak untuk menilai keimanan, maka tak heran kata sesat atau kafi begitu mudah diungkapkan. Aku sangat pesimis hal-hal tersebut bakal terhapus di Indonesia selama para alim ulama, intelektual bercampur dalam lingkaran kekuasaan.

Apakah mereka tak perlu terlibat dalam politik? Naif kalau aku menjawab dengan kata iya bahwa mereka harus terpisah dengan politik kekuasaan. Itu hak mereka untuk melarutkan segala nilai yang terkandung di dalam diri seseorang.

Tengah-tengah percampuran rasa, tertawa mungkin akan lebih nikmat dalam memandangnya. Sambil mencoba tertawa lepas sejadi-jadinya, Itu pilihan selain mencurahkan pada secangkir kopi hitam ini. 

Kala ingin menyudahi  ekpresi ini, entah datang dari mana tiba-tiba  aku teringat seseorang di kampung halaman. Iya hanya seorang pengurus mushola. Sebagaimana yang sudah dipahami masing-masing, pengurus ini akan lebih dulu berada di mushola jauh sebelum imam datang dan pulang paling belakang, tak jarang ia ditunjuk sebagai imam.

Dalam kehidupan sosial, ia tak sungkan untuk nongkrong bersama remaja. nongol di rumah RT saat rapat beralngsung, ikut terlibat dalam membersihkan got-got saat kerja bakti, dan lain-lain. Atas apa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, dia kadang lebih sering mendapat undangan untuk warga ketimbang ustaz yang ada. Mungkin warga akan lebih mengagap dirinya sebagai ustaz

Sebagi orang mempunyai cukup pengaruh, dia juga mempunyai hak politik sama dengan warga kampung. Sebagai pandangan politik, ia tak sungkan mengkampanyekan siapa yang pilih sebagai presiden.

Namun, hal yang menarik aku tak pernah mendengar sekalipun dia membawa dalil-dalil agama saat berkampanye di warung kopi. Jika pilihan orang berbeda dengan dirinya, dia hanya tertawa tanpa mengeluarkan kata-kata kafir, sesat, dan kata-kata yang hanya membuat orang marah.

Salam, rindu ngopi bareng 






Rabu, 02 Juli 2014

Curhat Secangkir #Kopi

JalaRasa, #Kopi
Ini adalah kopi Toraja, mungkin karena dari daerah asalnya sehingga kopi dinamakan  kopi Toraja, mari untuk menghentikan pembahasan tersebut. Satu hal yang menjadi kesalahan saya adalah, saya baru mengenal kopi ini sehingga cukup terlambat menyadari akan kenikmatan kopi tersebut. Tapi, rasa-rasanya itu bukan mutlak kesalahan saya.

Saat ini, saya tengah menanti cairan panas kopi ini yang sebenarnya sudah tak ada sisa kesabaran lagi. Mungkin menunggu adalah daya tarik atau mungkin ada tips menarik lainnya tentang tata cara menikmati kopi ini. Berbicara tips, sejujurnya saya hanya penikmat kopi, cukup itu saja.

Dalam menunggu saya merasakan  sepersekian detik sungguh berasa dan saya sebisa mungkin  memberikan kesabaran.Mungkin ini untuk sebagian orang terlalu dilebih-lebihkan, itu hak mereka untuk berpikir demikian. Tapi, jelas bagi saya, kopi Toraja bukan sekadar kopi dan cairan hitam ini terlalu personal bagi saya.

Bagi mereka yang telah merangkai tips menikmati kopi, untuk satu hal saya sepakat menikmati kopi secara perlahan-lahan, membiarkan rasa yang sebenarnya terungkap dibalik rasa pahit. Iya, kopi tanpa gula ini yang selalu saya pilih. Bagi yang tak suka dengan rasa pahitnya tak usah digubris atau mencaci.

Saya merasa enggan untuk berkomentar ria terhadap kopi apa yang mereka pilih, apakah manis, kopi susu, atau lain-lainnya, itu sama saja kopi.  Sama halnya dengan kondisi Indonesia jelang Pilpres 2014.

Peralahan namun pasti, berharap leyapkan rasa muak yang tak terbendung lagi. Membiarkan marah ikut terlarut pada kopi, hal yang masih saya  lakukan dan kuharap antara mereka demikian.  Naif benar jika kopi dikaitkan dengan perebutan kekuasaan.

Baiklah, kemarahan saya secara terang benderang. Inikah yang disebut fanatik? Menyimak berita yang saling menjatuhkan, komentar miring mungkin itu sudah hal yang lumrah dalam demokrasi. Coba tanyakan pada para pengamat?

Masih cukup lumrah, saat kabar meninggal seseorang disikapi secara politik, apakah cukup lumrah sebuah media dengan lihai menggiring untuk bersepakat ria mengatakan dirinya adalah seorang komiunis atau apa juga mendukungnya dengan membawa ke persoalan akherat.

Jelas, ini telah keterlaluan dan saya sendiri telah melanggar bahwa blog ini enggan diisi dari berbau politik.  Atas keberhasilnya mengubah alur blog ini, saya ucapkan Selamat dan semoga tak terselip sedikitpun rasa sesal telah mendukung secara gila.




 

Selasa, 24 Juni 2014

#JoinKopi: Satu Cangkir Untuk Bersama

#JoinKopi, kata inilah yang membuat saya rindu pada sebuah masa, dimana hanya dalam secangkir kopi beda bukan untuk dibeda-bedakan, jika ada hal-hal berupa sindiran harap maklumin saja bahwa ini adalah tongkrongan hehehehe.

Bagi saya, #JoinKopi bukan sekadar menikmati kopi secara bersama-sama, bukan juga karena modal menipis, itu saja. Bagi mereka yang pernah bagaimana indahnya #JoinKopi tentunya paham benar makna yang terkandung di dalamnya. 

Saat ini, apakah engkau juga mengalami kerinduan yang serupa, sebuah kerinduan yang tengah membabi merasuki diriku. Sambil membayangkan, aku melihat bagaimana kita sama-sama menikmati hidangan cairan berhwarna hitam, memang dalam hal rasa kita mempunyai perbedaan meskipun dari secangkir kopi yang sama, apakah kita pernah memperpanjangkan perberdebatan. 

Itu semua karena kita telah membuat kesepakatan, tak suka dilarang mencela. Sebuah peraturan yang mungkin sampai saat ini masih berlaku kendati tak ada bukti secara tertulis.  Saya kira hukum ini masih cukup relevana, bahwa kita sama-sama menerima kenyataan itu, bahwa saat percaya kepada sesorang maka percayalah secara sungguh-sungguh. 

Sebuah kesungguhan, bahwa dia juga tak bermaksud mengecewakan kita, bahwa dia telah sungguh-sungguh menghidangkan secangkir kopi. Dan seandainya ada umpatan tak usah dipandang serius, yang penting dia telah merelakan waktu menyeduhkan kopi untuk kita bersama. 

Saat ini juga, mungkin ini sangat-sangat muluk. Tapi, tak apalah jika dibilang muluk. Iya, saya hanya ingin dapat #JoinKopi dan bukan hanya untuk  kita saja, tapi juga semuanya tanpa terkecuali. Itu saja. 


Senin, 23 Juni 2014

Cita Rasa #Kopi Twitter Stempel Komunis

Kopi tak seperti pagi sebelumnya, entah benar cita rasa yang hilang atau terkontaminasi. Saya mencoba meneguk sekali lagi dengan penuh harap khasiat kopi sebelum-belumnya. Pagi ini, secangkir kopi panas sambil ditemani si burung biru mungil dan menggemaskan.

Berkat burung ini kabar apa yang tak bisa didapat? Dari yang tak jelas hingga paling tak jelas.  Kabar terkini Piala Dunia 2014,  soal adu kilik para pendukung capres-cawapres. Bisa disepakati bukan, jika kedua hal itu saat ini paling meriah di twitter.

Silakan saja mereka asyik dengan hoby dadakan mereka asalkan tak mengganggu dan saya masih tertawa. Oh, baru mengetahui semalam ada debat capres, siapa yang menang ditentukan siapa yang berbicara? Objektivitas sudah jadi barang langka.

Pada titik ini, kopi masih biasa saja.
Perlahan-lahan saya mulai mengerutkan kening saat ada kicauan soal komunis dan bertambah mengerutkan kening saat salah satu media online, ‘Debat Capres, Prabowo Disarankan Tanya Isu Komunisme ke Jokowi’, yang terlintas ini mau depat capres atau sejarah.

Wah, komunis begitu meriah dikicaukan beberapa  akun, @Ronin1946 dan tak luput pkspiyungan, dengan sejarah yang sepotong-potong atau sejarah olahan versi orba, mereka berbicara tentang segala macam tentang komunis dari tak bertuhan, pancasila, begitu mudah menuduh seorang sebagai komunis, cabut tap TAP MRPS No XXV/1966, dan lain-lain.

Wedus gembel, saya memang tak paham benar tentang apa itu komunis atau juga sosialis. Ada yang berpendapat secara tegas, komunis jelas sangat berbeda dengan sosialis. Dan saat ini saya hanya ingin bertanya siapa saja murid Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, kenapa Soekarno menggagas Nasakom, siapa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan dengan cara apa dia meninggal?

Mungkin pkspiyungan juga sudah melupakan apa yang disampaikan K.H. Abdurrahman Wahid sebelum meninggal. Apa yang dilakukan beliau saat menjabat sebagai Presiden terkait masalah PKI?

Itu saja dulu dan terimakasih

Sabtu, 21 Juni 2014

Maaf #Kopi, Tak Ada Niat Khianatimu

Tak ada sedikitpun niatan menyakitimu apa lagi  sampai mengkhianatimu. karena itu, aku sebisa mungkin menjaga rasamu dari godaan manis. Mengenai hal itu, silakan saja kau pertanyakan langsung kepada warung kopi, @Cho_Coffee. 

Iya, tanyakan saja padanya, kapan aku meminta kepadanya untuk menaburkan gula ke dalam secangkir kopi. Sudah cukup jelas bukan, jika saat ini rasamu mulai memudar karena perlakukan gula. Hal ini  jelas itu bukan maksud hatiku untuk melakukannya.

Percayalah!!!! 

Dan saat ini mau dikata apa, kenyataan yang berbicara demikian bahwa sejumlah warung-warung tak ada yang benar-benar menyajikan dirimu secara utuh. Entlah, apakah kau sendiri tak berdaya menghadapi kekuasaan atau mungkin kau kalah bersaing sehingga kau sangat sulit hadir, selain di kafe-kafe.

Sudahlah tak usah kau ceritakan, aku yang mesti meminta maaf padamu bahwa saat ini aku mesti merelakan menerimu dalam bentuk yang tak jelas. Iya, gula ini telah menguasai tak ada dirimu yang ada hanya carian hitam manis. 

Tapi, apakah dengan marahku semua akan terselesaikan? Seperti tidak demikian. Entalha, mungkin untuk saat ini yang terbaik bagi kita adalah menerima kenyataan, bahwa diantara kita penuh dengan kekurangan meskipun memang menyebalkan.

Jumat, 20 Juni 2014

Secangkir #Kopi Pagi

Secara perlahan namun pasti matahari mulai menghangatkan tubuh, memang belum terasa benar kehangatannya.

Kami yang sudah tak tahan lagi menahan rasa lelah disertai rasa kantuk yang begitu akut usai semalam suntuk kami habiskan hanya untuk menatap kemilau lampu kota, lampu yang terlihat Indah dari atas sana (Puncak),  akhirnya kami putuskan untuk menghentikan perjalanan dari Puncak, Bogor, Jawa Barat menuju Jakarta.

Pada gubug ini, sebuah gubug yang tak hanya menawarkan minuman kopi hitam dan makanan pengganjal perut, di sini juga tersedia obat penyembuh kantuk. Namun entah sebab apa bukan langsung memejamkan mata, kami malah asyik menikmati secangkir kopi hitam, kopi memang tak ada duanay untuk selalu diminum setiap saat tanpa pandang bulu kapan dan dimana? 


Sambil menikmati setiap tetas cairan hitam, mata saya tak jemu-jemunya memandangi embun-embun yang mulai menguap. Tak sekadar itu saja, dari sini juga bukan hanya bisa melihat lukisan alam, tapi juga tak ketinggalan secara jelas sebuah bangunan, Wisma Atlit Hambalang yang entah bagaimana nasibnya.  

Yups, pada perjalan pulang, kami putuskan untuk mengambil jalan sesuai dengan pemberangkatan, dipilihlah jalan dari Sentul kendati lebih memutar. Terpilih keputusan itu lebih didasari pertimbangan macet. 



Bagi Saya, Ini Bukan Sekadar #Kopi

kopi toraja, toraja kopiAda yang bertanya kenapa mesti jauh-jauh hanya untuk bisa menikmati secangkir kopi hitam, pahit pula?

Apa juga yang mesti dijelaskan kepada orang-orang yang mempertanyakan hal demikian, sebagaimana saya mesti menjelaskan, apa yang dirasakan saat cairan hitam dari Toraja ini menempel pada ujung lidah. 

Yups, ini kopi Toraja dan sejujurnya saya sangat tak kuasa untuk menjelaskan apa lagi membuat orang-orang terpikat untuk menikmatinya. Sebab itu, saya lebih memilih membiarkan rasa ini mengungkapkan jati dirinya dengan sendiri tanpa ada sesuatu yang memaksa.

Namun, yang pasti-pasti saja bahwa saya sedang menikmati secangkir kopi tubruk asal Toraja. Dan bagi saya ini bukan sekadar ngopi melainkan lebih karena perasan cinta saya pada minuman hitam ini, itu saja.

Oleh sebab itu, saya merelakan diri meluncur ke @Cho_Coffee, sebuah warung kopi Indonesia yang terletak di Jalan Semanggi, Ciputat, Tangsel.

Dan seandainya, jika ada yang bertanya kopi apa saja yang biasa disajikan di @Cho_Coffee, silakan untuk mempertanyakan secara langsung.  Jelasnya, yang saya ketahui, disini menjual aneka macam kopi asal Indonesia dengan berbagai teknik penyeduhan.



Rabu, 11 Juni 2014

Rindu Alam, Rindu Kota

Mencari sesuatu yang telah lama tak dirasakan, aku merasa mulai merindukan begitu merindukan. Entah apa, mungkin karena dari sini lampu-lampu terasa begitu terlihat begitu eksotis,
Rindu Alam, Rindu Kota

Hanya berdiri sambil menahan udara khas pegunungan menembus tulang-belulang. Untuk sekian lamanya menatap segerombolan cahaya sudah cukup membuyarkan kenangan tentang bising, penat, semrawaut kota.

Masih dengan rokok dan segelas bandrek di lengan kiri, saya masih enggan beranjak, saya masih sangat menikmatinya. Pancaran ini ternyata tak hanya menawarkan keindahan saja, tapi juga seakan-akan menjadi magnet yang mempunyai daya tarik sangat kuat.

Mungkin karena ini, maka sangat wajar saja jika kawasan puncak menjadi pelarian orang-orang yang telah lama tinggal di Jakarta dan sekitarnya, salah satunya adalah saya. Tinggal di pinggiran selatan Jakarta, setiap hari dihabiskan dengan menatap layar monitor keluar sedikit disambut dengan bunyi klakson saling berbalas.

Untuk sesat saja, saya ingin merasakan suasana lain. Sebuah suasana yang sangat sulit dirasakan didapatkan di perkotaan. Panggilan akan kerinduan itu sudah begitu kuat sangat kuat yang membuat saya tanpa berpikir panjang mengiyakan ajakkan seorang teman.


Selasa, 03 Juni 2014

#Mari Join Kopi

Jalan, Stasiun "Silakan disruput"


Kata demikian ingin rasanya saya salurkan bagi mereka yang tak sempat sruput kopi, untuk mereka yang  sudah bermain dengan klakson sambil menarik gas sekencang mungkin, untuk begitu cepat berjalan menuju loket kerta api, dan juga mereka yang tak seberuntung aku dalam hal waktu. 

Salam hangat dari secangkir kopi. 

Pagi-pagi sekali saat matahari belum nampak sempurna, suasana sudah diramaikan pengendara kendaraan bermotor. Ada orang berdiri, ia mencari celah bagaimana caranya memotong laju, sayang baru maju beberapa senti dipaksa tempat semula hanya lantaran suara klakson.

Sementara itu, jangankan kata senyum saja rasa-rasanya sangat ngirit, seandainya ada kata hanya ala kadarnya. Padahal mereka berkumpul, bersentuhan, bertatap muka dengan jumlah cukup banyak bahkan sewaktu-waktu bisa bertambah atau berkurang semuanya ditentukan oleh kereta yang datang.

Bagi yang mereka yang pernah berada di stasiun Tanah Abang pagi hari mungkin sudah tak asing lagi dengan kondisi sedemikian rupa, bagaimana orang turun hanya untuk kembali jadi penumpang kereta api.

Bermodalkan panduan waktu, dengan sendirinya tiap-tiap dari mereka hanya akan mengikuti ritme perjalanan dari naik kereta yang satu lalu turun beli tiket dan kembali naik kereta berikutnya. 

Selamat jalan om, tante, emba, mas, dan lain-lainnya semoga sampai tujuan. 


Kamis, 22 Mei 2014

Ungkap Rasa dari Secangkir #Kopi

angkringanwartaTak ubahnya anak umur lima tahun yang tengah menyusun balok permainan lalu menghancurkannya kembali. Bedanya adalah pada sepertiga malam ini,  saat saya mencoba menyusun huruf sehingga membentuk kata entah lantaran apa memilih untuk dibongkar kembali. Begitulah adanya secara terus dan terus.

Sebentar lagi fajar tiba, menjaring segala macam huruf guna membentuk sebuah bangunan kata, namun pada kenyataan tak kunjung juga mampu terbaca, sepi semua hanya terdiam membisu. Membatin, hanya sekadar menunjukan dirinya masih begitu dingin. Ini begitu berasa mimpi yang masih terpendam lantaran masih terjaga.

Kopi hitam serta rokok dikorbankan sebagai penebus rasa muak. Kendati demikian, rasa-rasanya tak tega benar menyebut kopi sebagai tumbal. Soa

Apa yang membuat kopi ini begitu mudah diterima, apakah Anda mengetahuinya? . Pasalnya, percuma saja atau sejauh mana mampu mengukapkan rasa? Saat  rasa yang tak dipahami ini, kenyakinan atas ungkapan  kopi bukan untuk dimengerti melainkan hanya untuk dinikmati.

Saat ini kopi yang tengah mengetuk imajinasi atau lamunan semata lalu semua menjadi hampa kembali. Dan akhirnya secara mengejutkan pikiranku menuntut untuk mengembalikan kata-kata yang telah terhapus, anehnya saat mencoba menyusunnya kembali ada keinginan kuat untuk menghapus kembali. Sungguh ini memuakkan sekaligus mengasyikkan.

Perasaan tak jelas ini juga akhirnya menuntunku kepada harapan-harapan yang tak kunjung dimengerti  jua antara perjalanan atau cukup sampai titik ini.  Tanya jawab dalam diri sendiri kian tak bisa kupahamami. Rasa ini terlalu angkuh hingga aku harus mencoba untuk mengerti.

Dan seperti kopi, ia terlalu angkuh untuk sekadar mengenalkan kepada penikmat tentang rasa apa yang sebenarnya yang terdapat pada dirinya? Mungkinkah karena diamnya, akhirnya pencandu kopi mencoba segala hal guna memecah misteri yang terkandung di dalam mahluk bernama kopi. “Tuan, semakin kau coba pahami, kau semakin tak akan mengerti, biarlah rasa itu tetap absurd,” ujar secangkir kopi.

lnya, minuman ini bukan hanya hadir dalam jengah atau sepi. Ia juga hadir dalam ceria, senang, pelengkap kemesraan pada sebuah obrolan.